Kunang-Kunang di Malam Hari
By: LOUISA REGINA RAE SIAGIAN (Regina)
(Siswi Kelas VI SD Fransiskus III)
Di balik tembok tinggi di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, hiduplah sebuah keluarga yang tampak sempurna. Mereka Adalah keluarga yang Bahagia: ayah seorang perwira tinggi militer, ibu seorang penulis ternama yang karya-karyanya digemari banyak orang, dan dua anak mereka, Lumina Aletha, gadis kecil berwajah lembut dan penuh rasa ingin tahu, serta adiknya, Kaido Ryujin, bocah ceria yang tak pernah Lelah bertanya tentang dunia.
Rumah mereka besar dan mewah. Namun dibalik semua hal itu, tersembunyi satu rahasia kecil: Lumina takut pada kegelapan. Setiap malam, meskipun telah memiliki kamar indah dengan lampu tidur berbentuk Bintang, ia selalu meminta untuk tidur diantara kedua orang tuannya. Sudah berbagai cara dicoba, dari lampu warna-warni hingga dongeng sebelum tidur, tetapi rasa takut itu tetap melekat seperti bayangan yang tak mau pergi.
Suatu siang yang terik, Lumina pulang dari sekolah dengan kotak susu ditangan kirinya dan tas bekal ditangan kanan. Setelah berganti pakaian, ia bergegas menuju meja makan. Seluruh keluarganya sudah duduk disana, menikmati pasta hangat yang sudah disajikan pada piring masing-masing.
Di Tengah tawa kecil mereka, ayah tiba-tiba berbicara dengan nada serius.
“Lumina, putri kecil ayah sudah besar, sebentar lagi masuk SMP, ya…?” katanya sambil tersenyum.”
“iya dong, ayah. Aku sudah besar, bisa makan sendiri sekarang.”
Ayahnya mengangguk pelan. “tapi, ada yang ingin ayah sampaikan. Ayah mendapat tugas baru. Kita harus pindah ke Nusa Tenggara Timur.”
Suasana meja makan mendadak sunyi. Kaido langsung merengek. “Apa? Pindah? Aku tidak mau, ayah! Aku masih kelas empat, aku tidak ingin jauh dari teman-teman.”
Lumina menatap ayahnya dengan wajah muram. “kenapa harus pindah kesana? Di sana kan tidak ada mall, tidak ada tempat untuk belanja. Tentunya membosankan.”
Ayahnya tersenyum bijak. “mungkin disana tak ada mall, akan tetapi ada Sungai dengan air sebening kaca, langit yang luas tanpa polusi, dan malam yang penuh Bintang. Percayalah, kalian akan menyukainya.”
Tak ada yang menjawab. Hanya dentingan sendok pada piring yang terdengar menerobos keheningan itu.
hari-hari berganti tak terasa tibalah saatnya bagi mereka untuk meninggalkan Jakarta. Rumah baru mereka di NTT sederhana, hanya satu lantai, namun hangat dan lapang. Halamannya luas, dan di belakang rumah, pemandangan hijau terhampar sejauh mata memandang.
Hari pertama di sekolah baru, Lumina merasa asing. Meja kayu dan papan tulis
Kapur terasa berbeda. Tapi anak-anak di sana menyamnbutnya dengan rmah. Hari demi hari ia lalui dan ia mulai terbiasa dengan kehidupan disana. Lumina dikenal sebagai anak berprestasi dan mudah bergaul.
Suatu hari, guru mengumumkan kegiatan perkemahan pramuka. Lumina terpilih menjadi salah satu peserta. Awalnya ia gembira, tapi hatinya segera dicekam rasa cemas. Ia tahu kegiatan itu pasti ada jurit malam. Kegelapan Adalah musuh lamanya.
Mentari mulai tenggelam seketika langit jadi gelap. Di hadapan api unggun, guru mengumumkan, “besok malam, pukul sebelas, akan diadakan jurit malam. Siapkan diri kalian.”
Sontak hati Lumina berdegup kencang. Malam itu ia sangat gelisah, matanya tak mau terpejam. Ketakutan menjalar pelan-pelan, seperti kabut yang menyelimuti pikirannya.
Namun teman yang sedari tadi duduk di sampingnya memperhatikan Lumina. ia kemudian berbisik kepada Lumina dengan logat khas daerah, “Ko kenapa, Lumina? Beta liat ko dari tadi macam gelisah sekali. Ada apakah?”
Lumina menunduk. “iya, aku takut gelap, aku nggak mau ikut jurit malam.”
Temannya tersenyum. “ahh kau ini, sa kira ada apakah, ternyata ko hanya takut gelap saja. Saya kasih tahu ko, gelap itu tidak selamanya bikin takut. Ayo ikut, beta mau kasih tunjuk sesuatu.”
Dengan ragu Lumina mengikuti Langkah temannya menuju padang rumput di pinggir hutan. Tempat itu gelap, hanya suara jangkrik yang terdengar.
Lumina menggenggam tangan temannya erat-erat, hampir menangis.
“lihat baik-baik,” bisik temannya sambil menggoyangkan rumput tinggi dengan kakinya.
Seketika dari sela-sela rerumputan, muncul Cahaya-cahaya kecil menari-nari di udara. Kunang-kunang, ratusan jumlahnya, berkelip lembut di Tengah malam. Cahaya mereka begitu hangat, lumina seperti anak kecil yang menemukan surga rahasianya sendiri.
Mata Lumina membulat terpesona melihat Cahaya kunang-kunang itu, baginya ini merupakan momen yang langkah. Ia kemudian mulai berlari-lari dengan temannya menikmati indahnya malam yang dihiasi dengan Cahaya kunang-kunang yang tampak indah.
Malam berikutnya, saat jurit malam dimulai, teman-temannya ketakutan melangkah di jalan gelap. Namun lumina berbisik pelan, “coba goyangkan rumput di sana.”
Mereka mengikuti perkataan Lumina, dan seketika itu juga Cahaya kunang-kunang bermunculan lagi, menerangi Langkah mereka di Tengah malam. Mereka berjalan dengan tawa, tak lagi takut. Tanpa mereka sadari, regu mereka tiba paling awal di garis finish.
Keesokan harinya, regu mereka dinobatkan sebagai pemenang. Semua bersorak gembira, dan Lumina merasa bangga. Bukan karena pialanya, namun karena ia telah menaklukkan ketakutannya sendiri.
Malam itu sepulang dari perkemahan, Lumina tidur di kamarnya sendiri untuk pertama kalinya tanpa ditemani siapa pun. Di luar jendela, Cahaya bulan menembus tirai, dan seekor kunang-kunang kecil hinggap di ambang kaca.
Lumina tersenyum. “Terimakasih,” bisiknya pelan sebelum matanya terpejam dalam damai.
Di rumah itu, malam tak lagi menakutkan. Kini kegelapan baginya Adalah tempat Dimana Cahaya kecil belajar bersinar.
-TAMAT-
Editor: Wihelmus Kamis
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Kancing Ajaib Dan Pelajaran Kejujuran
By: ELORA ABIGAIL BUTAR BUTAR (Elora) Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III Lia, siswi kelas enam yang cerdas dan rajin, memiliki sebuah kancing biru laut yang selalu ia simpan denga
Mengukir Masa Depan di Papan Tulis
By : MICHELLE GABRIELLA LIAUW ANN (Michelle) Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III Di sebuah sekolah sederhana, di antara riuh tawa dan langkah terburu para siswa, ada seorang gadis
Langkah Kecil Menuju Mimpi Besar
By: GABRIELLE EIFFEL FRADYTHNASEARA SETIABUDI (Eiffel) Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III Namanya Amira. Ia duduk di kelas 5 SD Mentari Pagi. Amira dikenal sebagai anak ya
BERUBAH SEBELUM TERLAMBAT
By: BRIGITTA RAISSA SAMANTHA GINTING (Brigita) (Brigita adalah siswi kelas VI SD St. Fransiskus III Jakarta) Setiap anak tentu ingin diakui dan disukai oleh teman-temannya. Namun tida
Si Bobi yang Keasikan Main HP
By : ELIZABETH ALVIONA (Eli) Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III Setiap hari, Bobi tidak bisa lepas dari HP-nya. begitu bangun tidur, ia langsung mentap layer. Saat makan, HP-
SAYAP PERTAHANAN BANGSA
By: NOVA MARIA KRISTINA (Nova) Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III Pangkalan udara adalah tempat yang paling suci bagi mereka yang bersumpah untuk melindungi bangsa dan neg
DARI RAGU JADI JUARA: KISAH REGU PRESTASI KAMI
By: Kinara Codeliva Dewi (Siswi Kelas VI SD Santo Fransiskus III) Halo teman-teman! Namaku Kinara Codeliva Dewi, siswi kelas 6 di SD St. Fransiskus III Jakarta. Hari ini izin
“BERSAMA MENGEJAR PELANGI”
By : ZEFANYA ANABELLE STEPHANIE SIHOMBING (Fanya) Di SD St. Fransiskus III, ada seorang siswi kelas enam yang selalu ceria dan murah senyum. Namanya Anna. Ia dikenal ramah oleh
Mimpi Terbang Yang Hampir Hilang
Mimpi Terbang Yang Hampir Hilang By. Gregorius Jonathan Damian (Siswa Kelas VI SD Fransiskus III) Di sebuah sekolah di tengah kota, ada seorang siswa bernama Raka. Ia diken
“Cahaya Dibalik Rak Buku”
By : Lovely Angel Kanter (Lovely) (Siswa SD Fransiskus III) Pak Adi, seorang pustakawan di sebuah sekolah dasar, merupakan sosok yang sabar dan penuh kasih. Setiap pag
